Tau Kemana Melangkah

Tidak semestinya buat orang yang beriman
tidak tahu kemana dia melangkah.
November tahun 2001, saya bahagia betul istri saya akan melahirkan. Tapi kami tidak ada uang saat itu untuk biaya persalinan. Kira-kira tinggal sepekan istri saya menulis di diarinya satu keluhan yang hanya ia simpan untuk Allah. Kebetulan saya baca itu diari. Isinya kira-kira tentang kegelisahan seorang istri yang suaminya belum juga kunjung memiliki biaya untuk persalinan.
Di usia kandungan 8-9 bulan, saya membawa istri saya berikhtiar mencari pertolongan manusia. Bukan dalam bentuk meminta uang, namun ikhtiar dalam bentuk usaha. Apa saja. Asal halal. Namun masya Allah, hasil ikhtiar harian, penuh hanya untuk makan saja. Ikhtiar-ikhtiar langit sementara, terus dilakukan. Satu yang saya ingat. Agak-agak pantang kami mengucap tidak ada uang. Kalimat ini terasa hanya pantas diucapkan pada Allah saja. Kami sedang belajar saat itu, biar Allah saja yang memilihkan dan menggerakkan hamba-hamba-Nya untuk menolong kami. Pengalaman hidup saya di beberapa waktu terakhir mengajarkan bahwa kalau kami mendatangi manusia, itu hanya membuka aib kami saja bahwa kami sedang dalam keadaan tidak berdaya. Kami ingin sempurna pengaduan, hanya kepada Allah, dan bersandar hanya pada-Nya.
Jika mengingat kondisi tauhid saat-saat itu, nampaknya manis sekali untuk senantiasa diistiqamahi. Allah Maha Mendengar jeritan hati. Kitanya saja yang tak pandai menjaga kesabaran untuk tidak mengeluh dan tidak berhenti beribadah dan berdoa mengetuk pintu langit. Banyak manusia yang tak sabar dengan kondisi “injury time”. Posisi kepepet senantiasa diyakini sebagai posisi yang sedang terjadi dalam hidupnya. Kami belajar, bahwa dengan betul-betul menyandarkan posisi kepada Allah, maka bisa jadi, istilah kepepet itulah garis finishnya.
Akhirnya, terjadilah persalinan itu. Sempurna. Lahir bayi yang sempurna. Bayi yang kelak di usia 7 tahun bermimpi bertemu dengan Rasulullah ketika akan menyatakan diri ingin menjadi penghafal al Qur’an. Ya, Wirda beberapa waktu yang lalu melihat Isamil dan Ishak, santri PPPA yang ditempatkan di Pesantren Tahfidz – Daarul Qur’an Internasional. Ismail dan Ishak ini anak kembar yang masya Allah. Menamatkan pendidikan SD nya di Daarul Huffaadz Lampung dengan mengantongi 23 & 25 juz. Kemudian melanjutkan ke Daarul Qur’an untuk penyempurnaan. Hafalannya dan suaranya, mengagumkan. Dalam waktu itu, Wirda yang 7 tahun yang lalu menjadi bayi yang kita bicarakan ini, pun melihat Atira, putri dari sahabat saya, Hadi Purnomo, Dirut Tirta, anak perusahaan dari Krakatau Steel. Atira ini istimewa juga. Masih kelas 4 SD di Daarul Huffadz, namun suaranya seenak Imam Makkah, dan sudah mengantongi 4 juz, plus jagoan puasa sunnah dan shalat tahajjud. Juga Wirda melihat anak-anak hebat lainnya di Daarul Qur’an. Rupanya ini menjadi motivasi. Satu malam ia menyatakan akan menyempurnakan hafalan Yaasiin dan al Ma’tsurat, plus juz 1 & 30. Ketika ditanya oleh saya, koq ga niat 30 juz saja? Wirda memberi jawabannya dengan senyum. Nah, malamnya Wirda tertidur. Dalam tidurnya ini ia bermimpi ketemu Rasulullah. Wirda lapor di pagi harinya, sambil menunjukkan catatan yang ia tulis dari hasil mimpinya semalam. Katanya, ia ditanya Rasulullah dengan pertanyaan yang hampir sama dengan saya, dan mendorong Wirda untuk hafal 30 juz. Wirda diajak Rasulullah shalat di rumah batunya Rasulullah tanpa Wirda tahu shalat apa itu namanya. Saya berkeyakinan Wirda shalat sunnah lihifdzil Qur’an. Satu shalat yang sering juga diamalkan oleh para penghafal al Qur’an.
Wirda, yang kini tumbuh sebagai anak yang saya banggakan, 7 tahun silam lahir dalam keadaan saya tidak megang uang sama sekali. Istilahnya, seperak juga ga ada.
November ini, tanggal 29 besok (saat tulisan ini ditulis, Web Admin), Wirda berulang tahun.
Ketika Wirda lahir, saya menangis dua kali. Pertama, nangis seneng. Kedua, nangis bingung. Saya rasa, semua ayah akan begini jika menghadapi situasi serupa. Belum lagi saat itu masalah masih sedang banyak-banyaknya.
Beberapa saat setelah Wirda lahir, saya langsung pamit sama istri saya. saya masih mengingat kalimatnya, lebih kurang, “De, kaka pamit dulu ya. Mau nyari duit…”.
“Nyari kemana…?”
“Engga tahu. Pengen jalan saja”.
Tidak lupa, saya pamit sama bayi saya ini. Sekalian minta doa. Kata orang, doanya bayi itu mustajab. Saya cium Wirda dengan penuh perasaan saya, dan saya meminta doa restu Wirda bayi.
Ah, tulisan ini rasanya sudah saya tulis juga di buku Kun Fayakuun.
Persis ketika di pintu Bidan Suli, Bidan dekat rumah kami (waktu itu belum ada Daarul Qur’an), saya beristighfar. Istri saya kan nanya, “Nyari kemana…?”, dalam hati saya, koq bisa-bisanya saya jawab ga tahu mau kemana… Bukankah sebagai seorang mukmin ia tahu seharusnya hendak pergi kemana? Ya kemana lagi, kalau bukan ke Allah.
Saat itu saya sujud. Menangis minta ampun sama Allah. Meminta maaf sudah membelakangi-Nya. Meminta maaf sudah menganggap-Nya tidak ada. Saya berdoa sejenak, minta dibimbing ini kaki, kemana hendak menuju.
Alhamdulillah, motor pinjaman masih terisi bensin. Saya berharap tidak ada satu kejadian pun di jalanan yang menyebabkan saya harus keluar uang. Sungguh, di kantong tidak ada uang sama sekali.
Sampe di sini, saya kadang terdorong untuk mendidik jamaah yang datang dengan kesusahannya untuk pol saja ke Allah. Kadang saya sama sekali tidak membantunya. Bukan apa-apa, modal yang mahal sekali hidup di dalam kesedihan, keprihatinan, kesusahan. Apalagi pas tidak ada pintu yang terbuka. Insya Allah biasanya orang tersebut akan penuh bergerak ke Allah, pasrah sepasrah­pasrahnya. Kondisi beginilah yang kelak membukakan pintu rizki dari langit dan bumi dan kemudia terangkat kehidupan. Namun tidak sedikit yang kemudian hidup cengeng. Asli, pasrah saja. Selanjutnya, terserah Allah saja.
Kembali.
Saya jalan sejalan-jalannya. Hingga kemudian saya menyadari motor saya ada di depan rumah keluarga Kampung Sawah, Jembatan Lima. Saya lihat pintu gerbang hijaunya. Saya berkeyakinan, Allah yang menunjukkan dan menggerakkan saya ke sini. Dan kayaknya mah, saya yakin, di sini mesti ada jawaban untuk biaya bersalinnya istri saya tadi paginya di hari itu.
Namun, sebelum masuk, saya yakinkan diri ini untuk tetap pantang meminta kepada makhluk-Nya. Duh, manis sekali tauhid saat itu. Rasanya, agak sulit untuk ketemu dengan tauhid semacam dulu, kepasrahan semacam dulu, dengan situasi nyaman saat ini.
Saya ajarkan diri saya sebelum masuk, bahwa kalau sampai masuk dan ketemu dengan bibi, paman, dan saudara saya, saya harus pasang muka tidak ada masalah dengan keuangan. Dan harus hanya mengabarkan bayi saya sudah lahir, dengan ekspresi yang penuh dengan kebahagiaan, serta tidak menyiratkan kegalauan tak ada uang. Inilah yang disebut dengan muru’ah, kehormatan, kemuliaan. Barangkali.
Tapi, sebagai manusia, ada letupan di hati, untuk mengutarakan saja. Di dalam hati saya mengatakan, “Ga apa-apa. Kan ikhtiar namanya juga. Anggap saja, bilang itu sebagai bahagian dari ikhtiar”.
Sebagian hati saya yang lain mengatakan, “Percaya ga Allah Maha Menggerakkan Hamba-Nya? Kan sudah bicara sama Allah tentang kebutuhan Wirda. Percaya saja Allah yang akan menggenapkannya. Allah yang akan mencukupkannya. Hasbunallaah wani’mal wakiil, ni’mal maulaa wani’man nashiir. Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”.
Lagian, ini kan bukan ikhtiar untuk minjem. Ga ah. Begitu saya bilang.
Saya datang kira-kira jam 10. Saya kabarkan berita gembira ini. Ungkapan-ungkapan kebahagiaan saya dapatkan. Juga nasihat. Tapi, tidak ada satu pun yang nanya udah ada uang belum? He he he. Rupanya, hati masih tetap berharap.
Azan zuhur berkumandang. Seperasaan saya, saat itu saya jalan ke masjid. Berdoa. Hanya Allah yang tahu, dan istri saya, bahwa kami tidak punya uang, dan hari ini saya sedang berjalan menyusuri bumi-Nya Allah yang katanya luas, untuk mencari rizki-Nya. Saat itu, entahlah. Allah yang mengajari. Insya Allah. Yang saya cari rizki-Nya. Maka saya cukupkan dengan mencari-Nya sahaja. Tidak yang lain.
Pulang zuhuran, saya pamit.
Saudara-saudara sekalian, penghuni rumah Kampung Sawah, Jembatan Lima ini salah satu di antaranya adalah bibi saya. Hajjah Hurul ‘In. Beliau kakak dari ibu saya. Satu-satunya. Ada saudara­saudara saya yang lain. Namun beda nenek. Hajjah Hurul ‘In, atau yang akrab saya sapa dengan Bu Noni, orangnya gemar membantu. Tangannya ringan untuk menolong orang. Termasuk seneng memersen (memberi uang). Terus terang, saya berharap sekali dapat sekedar persenan. Saya berdoa kepada Allah dengan bahasa hati, kalaulah Engkau ya Allah tidak memberi saya uang untuk biaya bersalin, dari rumah ini, biarlah sekedar uang kecil untuk jaga-jaga bensin dan makan minumnya saya sepanjang perjalanan ikhtiar. Gitu.
Tapi subhaanallaah… Sampe mau pamitan, ga ada tanda-tanda. Ingin rasanya saya memberi signal. Dengan bahasa tubuh dan air muka. Namun sudah terlanjur niat untuk tidak menunjukkan kebutuhan kecuali di hadapan Allah saja.
Ya sudah, apa boleh buat. Pamitlah saya dengan sempurna. Saya cium tangan orang yang saya hormati ini, orang yang ikut membesarkan saya sejak bayi. Dan lalu saya pamit. Saya balikkan wajah saya dan tubuh saya. Tidak ada juga terdengar angin baik. Ya sudah. Saya melangkah mantab meninggalkan rumah ini. Entahlah kemana setelah ini. Palingan saya ke orang tua. Tapi saya tahu persis, bahwa ayah ibu saya, pun pastinya ga punya uang. Ayah tiri saya, yang menikahi ibu saya ketika saya berusia 5 tahun, adalah pegawai rendahan golongan 2. asli rendahan saat itu. Golongan 3 aja engga. Ga mungkin rasanya ia saya mintakan uang. Apalagi dengan kejadian demi kejadian yang saya alami, yang akibatnya pun ditanggung oleh keluarga. Malu rasanya.
“An…”
Saya hampir ga percaya, tiba-tiba suara yang saya sangat kenali, saya dengar. “An…”.
Ini suara bibi saya. Ia memanggil saya. Ya Allah, begitu saya merintih pada-Nya, jangan sampai perasaan bahagia saya ini menjadi salah di mata-Mu. Tapi panggilan ini saya kenal.
Saudara-saudara Peserta KuliahOnline, saya tahunan hidup bersama bibi saya. Getaran rasa, nyampe di saya. Ketika beliau memanggil saya yang sudah berlalu dari hadapannya, “An…”, terasa kalimat ini memberi sejuta harapan.
Dan alhamdulillah! Benar saja.
“An… Tunggu sebentar…”.
Saya menengok. Bibi saya menahan saya dengan gerakan tangannya, dan beliau masuk ke kamar!
Saya tahu, bibi saya pasti mengambil uang. Namun yang saya ga paham, ternyata bibi saya bukan mengambil uang untuk ongkos saya, melainkan untuk biaya persalinan istri dan bayi saya! subhaanallaah, Allaahu akbar!
Ga lama beliau keluar dari kamarnya. Beliau mengambil tangan kanan saya, dan menyelipkan segulungan uang di tangan saya. Ga tahan, air mata udah mau netes. Saya tahan. Jangan sampai bibi saya tahu bahwa saya sedang nungguin ini uang.
Saudaraku, Peserta KuliahOnline yang sedang belajar tauhid, tentu tauhid saya ini tidak ada apa­apanya. Cerita ini bukanlah ukuran hebatnya tauhid saya. Ini episode kecil saja untuk menggambarkan pelajaran kecil tentang tauhid.
Saat itu, saya tidak berani melihat uang ini. Takut kurang, he he he.
Saya putuskan langsung pulang dulu. Sebab udah jam 14 kalo ga salah saat itu.
Saya urungkan untuk berangkat ke Bekasi. Besok saja dah. Kalo udah tenangan.
Saya langsung menuju Bidan Suli.
Uang dari Bu Noni saya kantongin. Di perjalanaan pulang saya zikir, baca shalawat, dan baca macam­macam. Doa saya kira-kira, ya Allah, saya tahu uang ini pastilah bukan sekedar uang ongkos. Sebab pegangannya lain. Macam uang 20 ribuan atau 50 ribuan. Dan pastinya, bukan hanya selembar tipis. Tapi berlembar-lembar yang digulung. Ya Allah, kalau kurang ini uang, tolong Engkau buat ini uang menjadi cukup sesampenya saya di bidan. Begitu doa saya.
Saya saat itu membayangkan satu ilmu kanuragan, he he he. Di mana saya membayangkan, uang ini bisa berganda dengan sendirinya di kantong saya. Dengan kekuatan shalawat, istighfar dan laa hawla. Saudara-saudaraku, jangan diprotes nih kalimat paragraf ini. Saudara mau kadang protes melulu, he he he. Kritis kali ya? Bukan apa, ntar ada yang protes dah, emangnya shalawat bisa menggandakan uang? Emangnya dengan laa hawla uang bisa berubah jumlahnya? He he he, maaf ya. Ini hanya ungkapan batin saja. Saya berdoa sepenuh hati agar demikian adanya. Kan bisa saja penggenapan itu terjadi dengan bidan Suli memberikan keringanan kepada saya. Gitu.
Sesampainya saya di Bidan Suli, ibu mertua saya sudah ada di sana. Sama nyai dari istri saya. “Suf,” kata mertua saya, “Ayo, temuin dah tuh bidan. Katanya si Nunun udah langsung boleh pulang”.
Deg. Jantung saya mau copot rasanya. Mertua saya ini apa engga tahu ya kalo saya ga punya uang? Bicaranya seakan-akan saya sudah megang uang dari kemaren-kemaren untuk persiapan melahirkan.
Tapi, deg, saya juga takjub. Allah menjaga saya dari rasa malu. Bayangkan, mertua saya diberitahu oleh bidan untuk pulang saja langsung. Rupanya, mertua saya takut kalo sampe nginep, ntar mahal. Mendingan ya langsung pulang saja. Maka saya tidak dapat membayangkan, umpama kejadian, bahwa saya belum megang uang, wuah, malu lah di hadapan mertua. Allah menyelamatkan saya, he he he. Alhamdulillah. Iya lah. Saya kan laki-laki. Di mana harga diri kita, iya ga?
Sejurus kemudian, saya berdoa, dan bersiap-siap nemuin bidan.
“Berapa Bu?”, tanya saya kepada bidan.
“500 ribu Pak Yusuf”.
Saya keluarkan uang yang belum saya lihat dan belum saya hitung ini.
Pas!
Alhamdulillah. Pas!
Persis 500 ribu. Ga pake kembalian, he he he.
Di depan teras bidan saya sujud. Makasih ya Allah. Engkau singkatkan perjalanan ikhtiar saya, dan langsung diberhasilkan. Saya dapat uang karena percaya pada-Mu ya Allah.
Di perjalanan saya berbisik canda kepada Tuhan yang teramat saya banggakan ini, “Ya Allah, besok­besok, lebihkan ya…”.

Cerita Cinta

Andai kita menebus segala kesalahan kita dengan dunia yang kita punya, lalu kita
mendapati Allah di sisi kita, tentu ini adalah proses pendekatan diri kepada Allah


yang murah adanya.
Seorang bapak datang dalam keadaan bermasalah. Namun berbeda dengan yang lain. Ia datang dengan senyuman. Ia berbagi pengalaman, bahwa ia senang Allah bangkrutkan.
Saya sudah tahu kemana arahnya pembicaraan dia. Tapi saya biarkan.
“Kalau saya tidak dibangkrutkan Allah, saya sudah akan terlalu jauh dari Allah,” begitu katanya. “Sangat jauh malah. Saya banyak bermaksiat dengan rizki dan jalan yang justru sesungguhnya diberikan oleh Allah,” katanya lagi.
Saya kemudian bertanya sedikit kepadanya, “Apa yang didapat setelah jauh dari Allah?”
“Ketidaktenangan. Ketidaktahuan tujuan hidup. Dan yang lebih jelas lagi, dosa”.
“Dosa?”
“Ya, dosa. Makin lama Allah biarkan saya dalam kekayaan, makin banyak rasanya dosa saya. Jangankan urusan yang nyata-nyata sebagai dosa. Urusan meninggalkan shalat sunnah saja kan sebenernya dosa. Ngentengin sunnah. Begitu kan kata Ustadz?”
“Ya. Betul. Ngentengin sunnah juga merupakan dosa. Kalau terlalu lama ninggalin sunnah, ya bermasalah juga jadinya. Apalagi kalau yang ditinggalkan itu adalah sunnah-sunnah muakkad; sunnah tahajjud, sunnah dhuha, sunnah qabliyah ba’diyah”.
“Nah ustadz, saya bahkan mulai menyepelekan shalat wajib. Saya ngebayangin, betapa saya menzalimi Allah yang sangat sayang kepada saya. Hingga saya bersyukur bahwa saya diberi-Nya karunia kejatuhan ini”.
Luar biasa. Sahabat saya ini sudah berhasil menaruh baik sangkanya kepada Allah, dan berhasil memetik hikmahnya.
Di dalam program Ihyaa-us Sunnah (Program Menghidupkan Sunnah), yang juga akan menjadi program menarik semua peserta KuliahOnline untuk menebus dosa (he he he), dan untuk mengangkat derajat, memang nyata-nyata dipelajari bahwa di balik sunnah itu ada kejayaan. Hamba-hamba Allah memang banyak yang sudah menyepelekan sunnah. Pengertian sunnah masih: “Kalau dikerjakan mendapatkan pahala, kalau tidak dikerjakan, tidak mengapa”. Akhirnya, bener-bener tidak mengapa: “Cuma sunnah ini”, begitu kata sebagian dari kita. Padahal, menjaga sunnah adalah sesuatu yang terpenting yang benar­benar berpengaruh kepada kualitas hidup kita.
“Terus, apa yang terjadi?”, tanya saya lebih lanjut kepada beliau.
“Ya, namanya orang bangkrut, hidup saya penuh dengan masalah. Tapi semakin besar masalah saya, semakin saya bersyukur. Dalem sekali rasa syukur saya. Saya anggap, beban masalah saya adalah pengurangan dosa saya. Semakin berat, maka akan semakin besar pengurangannya. Saya ikhlas menjalani ini ustadz. Ridha sekali. Daripada dipendem di kuburan yang mengerikan, ini saya terima. Saya terima perlakuan dan intimidasi orang-orang yang uangnya di saya dan saya tidak bisa mengembalikan. Saya terima cacian dan makian keluarga saya, saya terima sikap tidak pedulinya kawan-kawan yang kadang menyakitkan saya sebab saya begitu memperhatikan mereka. Saya terima semuanya.”
Bukan saya berbangga diri. Dia cerita bahwa buku Mencari Tuhan Yang Hilang, buku perdana saya, yang sudah lumayan membentuk kepribadian dia ini. Alhamdulillah, katanya, buku tersebut banyak berisi persoalan-persoalan tauhid, iman, kepasrahan, tanggung jawab, amal saleh, dan lain-lain sebagai bekal di soal kehidupan
“Apa doa saudara setelah saudara dekat dengan Allah?”, pancing saya.
“Saya berdoa, agar masalah saya jangan cepat selesai kalau saya belum kuat imannya. Biar saja saya begini dulu. Dunia ramai sekali di luar diri saya, tapi saya merasakan hebatnya bersepi-sepi dengan Allah”.
“Terus, nasihat apa yang saudara harapkan dari saya?”
“Saya hanya pengen ketemu ustadz saja. Ga lebih”.
Dia bicara banyak sekali. Dan saya kira, kedatangannya justru nasihat untuk diri saya. Semakin kaya, semestinya makin hebat shalat wajibnya, makin rajin shalat sunnahnya. Makin jaya, makin bersungguh-sungguh mendekatkan diri kepada Allah. Makin berterima kasih pada-Nya. Bukan sebaliknya. Terlalu mahal tebusannya bila kita tergolong sebagai golongan orang-orang yang melupakan Allah.
Dia juga mengingatkan tentang diri saya sekian tahun yang lalu. Ketika saya pompa diri ini, bahwa Allah tidak akan pernah meninggalkan saya. Allah tidak akan pernah mengabaikan saya. Allah tidak akan pernah tidak mau menolong. Allah akan selalu menolong. Orang ini mengingatkan saya banget-banget, bahwa ketika Allah ada di kehidupan kita, maka segalanya akan mengalir bahagia. Biarlah Allah yang mengatur hidup kita. Biarlah. Hingga nanti saatnya datang, Allah akan mengulurkan pertolongan-Nya, dan mengangkat derajat kita. Sementara itu, Allah mempersiapkan diri kita untuk menjadi individu yang lebih baik lagi yang lebih hebat lagi. Maka manakalah Allah sudah mengangkat kembali hidup kita, insya Allah dengan izin-Nya, kita akan menjadi manusia-manusia yang banyak manfaatnya.
“Ustadz, sungguh, saya sedang menunggu takdir Allah terhadap diri saya. Saya belajar dari ustadz. Saya mau memahami bahwa eposide kehidupan saya belumlah berakhir di sini. Masih panjang kan Ustadz…?”.
Saya selanjutnya membiarkan ia bicara. Kelihatan sekali sebenernya tatapan matanya hampir kosong. Namun iman di hatinya, dan secercah ilmu, sudah menjadi bara di tengah kehampaannya. Semoga ia kuat. Dan dia pasti kuat, insya Allah. Allah teramat suka sama manusia-manusia yang percaya bahwa diri-Nya pasti mengatur yang terbaik.
***
Apapun keadaan dan kejadiannya,
tetaplah baik sangka kepada-Nya.
Ketika bercerita tentang keyakinan kepada Allah, saya adalah termasuk orang-orang yang berusaha belajar meyakini bahwa Kekuasaan Allah itu ada, Pertolongan Allah itu ada, dan keyakinan-keyakinan lain yang positif. Saya males mengikuti bayangan buruk pikiran buruk. Sungguhpun kadang kejadiannya memaksa saya untuk berpikir buruk. Misalnya begini, saya punya urusan, lalu urusan itu kelihatannya tidak selesai. Malah cenderung bertambah besar. Saya mah tetap saja maunya positif. Segera saja saya banting kepada pemikiran, “Ga apa-apa masalah bertambah besar, asal dosa saya semakin besar yang diampuni Allah. Ga apa-apa masalah bertambah besar, asal rizki juga bertambah besar”.
Tapi kemampuan untuk meyakini Allah dan berpikir positif itu memang setelah mengalami sendiri pasang surut kehidupan, dan kemudian menerima pengajaran-pengajaran tentang iman dan kasih sayang Allah dari orang-orang yang positif memandang Allah dan kehidupan ini.
Ada seorang kawan yang tambang emasnya direbut orang. Bayang-bayang jatuh miskin, sudah di mata benar. Tambang emas yang baru saja diperpanjang hak tambangnya, dan sudah ditanam investasi dari hasil hutangan baru, tiba-tiba saja harus direlakan pindah tangan. Istilah-istilah hukum dan ekonomi modern, membuat dia harus melihat dengan telanjang aset dan perusahaannya pindah tangan.
Jadilah dia kemudian nestapa, merana, hidup penuh tekanan, penuh hutang, sendiri, gelap, dan putus asa.
Tapi, ups! Kata siapa?
Loh bukannya tertulis begitu? Jadilah dia kemudian nestapa, merana, hidup penuh tekanan, penuh hutang, sendiri, gelap, dan putus asa.
Ya, tapi kan yang nulis situ.
Lah, bagaimana sih ini?
Ya, situ yang bagaimana? Koq maen nulis sendiri kesimpulannya?
Oh, belum selesai ya?
Belum.
Yang benar, bagaimana?
Mestinya, ia kemudian nestapa, merana, hidup penuh tekanan, penuh hutang, sendiri, gelap, dan putus asa. Harus pakai “mestinya”. Sebab nyatanya dia tidak.
Loh, sampeyan ini siapa?
He he he. Iseng saja. Biar nulisnya ga jenuh. Ini habis pulang dari rumah sakit. Saya rindu mengajar. Saya kudu ngajar besok pagi. Online. Lewat website www.kuliahonline.wisatahati.com. Kalo lagi jenuh, lagi letih, kan “saya” suka muncul.
Jadi, bagaimana dengan dia?
Pengusaha ini tetap tegar. Dia memang kehilangan banyak hal. Tapi dia belum kehilangan semangatnya. Dia belum kehilangan ilmunya. Dia belum kehilangan buyer nya. Dia belum kehilangan keluarganya. Dan yang lebih penting, dia masih punya Allah dan Rasul-Nya. Itu yang membuatnya ga jadi merana dan ga jadi nestapa.
Subhaanallaah!
Tapi berkembang ga tambang emasnya?
Engga.
Lah???!!!
Ya, engga. Sebab nyatanya emang susah.
Dia rontok. Asli rontok. Mana perempuan lagi.
Terus, jadi dong merana dan nestapanya?
Kenapa sih? Kayaknya kudu merana dan nestapa dulu ya untuk kemudian bangun, bangkit, dan jaya kembali?
Ya habis situ yang bilang dia akhirnya rontok. Terus mau kemana lagi dia?
Ke Allah. Dia terus aja maju ke Allah. Dia memilih ga mau percaya bahwa dia bener-bener habis. Dia terus saja berjalan. Sekelilingnya menertawakan dia. Mencemooh dia, sebagai pengusaha yang gagal, sekaligus sebagai ibu dan istri yang gagal. Ga kebayang dah kalo kita yang menjadi dia.
Hutang bank nya?
Makin banyak. Dan tidak sedikit yang sudah pindah tangan. Di sisi yang satu ini saja, dia menuai musuh-musuh baru yang berasal dari keluarga. Beberapa aset yang disita adalah aset keluarganya yang dijadikan pinjaman.
Weh, repot juga ya?
Engga tuh. Dia ga merasa repot.
Wuah, itu mah namanya ga berperasaan.
Situ boleh menyebutnya ga berperasaan. Tapi dia memilih menyebutnya sebagai pasrah.
Ga ada ikhtiarnya?
Nah ini bedanya. Pasrah itu pekerjaan hati. Sedang ikhtiar itu pekerjaan fisik. Dan otak barangkali. Ia pasrah dalam kendali Allah. Tapi tidak pasrah dalam ikhtiar. Ia berdoa siang malam. Ia tetap berusaha mencari petunjuk sama Allah. Hingga kemudian ketika tidak ada satu pun lembaga hukum yang bisa membantunya –sebab katanya kesalahan administrasi hukum dan ekonomi adalah kebodohannya – saat itulah pertolongan Allah datang. Ada satu peristiwa hukum dan ekonomi juga antara dirinya dengan penguasa daerah dan pusat, yang menyebabkan rentetan juga peristiwa hukum dan ekonomi yang berputar. Dengan kejadian itu, Allah mengembalikan begitu saja asset yang sudah pernah diambil-Nya (kesejatian semua kejadian), lewat tangan orang lain. Bahkan hebatnya nih, asset itu dikembalikan Allah dalam hitungan yang berlipat-lipat baik dalam hal asset, permodalan, maupun hal-hal lainnya. Barangkali ketika di tangan seterunya si pengusaha ini, sang seteru itu merasa sudah pasti asset perusahaan tambang emas itu jadi miliknya. Jadi, ia kembangkan mati-matian. Nyatanya, malah balik lagi ke pemilik asli.
Bagaimana urusannya?
Klir. Rapih. Mereka-mereka yang sempat “mengadili”, menyaksikan kebesaran Allah. Betapa Kuasa-Nya bekerja di kehidupan orang-orang yang kuat mentalnya. Pengusaha yang sempat terjerembab ini sudah berhasil mempertahankan imannya. Ia bahkan terdorong lebih lagi menuju Allah. Akhirnya apa? Akhirnya ia bangkit lagi.
Subhaanallaah ya?
Kamu ini, bukannya mikir. Malah saya yang mikir. Saya yang ngetik. Saya yang bercerita. Bukannya seharusnya Kamu?
Loh, tadi kan Kamu sendiri yang nyelang? Ya ga apa-apa toh? Kan sama saja. Situ kan saya juga. Iya kan?
He he he. Iya juga.
Peserta KuliahOnline, bingung ya? Mudah-mudahan engga. Ini cara saya menulis. Kalau saya letih, saya punya kembaran, yang kembaran saya inilah yang saya biarkan maju. Bahkan ketika saya berceramah!
Ga apa2, asal jangan “saya” dimunculkan pas nyetir saja! He he he. Bisa modar.
Yah, begitu dah. Allah mempersiapkan kenaikan derajat pengusaha ini pada porsi-Nya. Tidak ada training yang lebih hebat daripada training kehidupan di mana Allah bertindak langsung menjadi Grand-Master Trainernya. Subhaanallaah! Maha Suci Allah yang tidak pernah salah dalam mengendalikan, menentukan, dan mengatur sesuatu. Termasuk tentang kehidupan ini.
Saudara-saudaraku semua. Mestinya, besok, Sabtu tanggal 30 Agutus 2008 sore, kita berkumpul di Sekolah Daarul Qur’an Internasional. Semoga Allah menerangkan benderangkan langit, tapi dalam kesejukan. Memberi Saudara semua rizki-Nya sehingga Saudara bisa datang berkumpul, untuk sama-sama belajar, berbagi dan bersaudara. Subhaanallaah, inilah kumpul-kumpul pertama antar-pengguna web www.wisatahati.com, sejak nama website ini ada di kepala saya ketika saya berada di dalam tahanan kepolisian di tahun 1999! Saat itu saya kepengen berpikir untuk duluan memesan nama web ini, sebab entah mengapa nama wisatahati kuat sekali ada di pikiran saya saat di penjara itu.
Insya Allah bagi yang datang, saya akan bercerita tentang latar belakang Wisatahati sedikit ya? Insya Allah. Ok, sampe ketemu. Insya Allah mulai hari-hari selanjutnya, kita masih akan belajar tauhid. Tapi sudah mulai menukik ke urusan ibadah keseharian. Insya Allah. Yah, dua tiga hari dah. Mudah-mudahan yang sabar ya belajarnya. Ajak-ajak juga saudara-saudara dan kawan-kawan yang memiliki kemudahan akses internet untuk sama-sama mendaftarkan dirinya di KuliahOnline. Jangan lupa, sebar luaskan ilmu yang didapat ini.
Loh, katanya udah “Ok, sampe ketemu”? koq masih terus nulis?
Iya, iya. Ini juga udah ada tamu. Di depan rumah. Dari kawan-kawan PPPA (Program Pembibitan Penghafal al Qur’an).
Padahal masih pengen nulis ya?
Iya.
Ya sudah, nulis saja terus. Ga apa-apa, tamu mah suruh nunggu juga, nunggu.
He he he. Jangan. Nanti malah ga hormat sama tamu. Kalo ga hormat sama tamu, kata Rasul, ga beriman.
Tapi kalo tamunya namunya gini hari? Malem-malem?
Tamu nya udah bilang koq.
Oh, kalo ga bilang, ga dilayanin?
Ya dilayanin juga. Asal bener-bener sehat, dan bener-bener lega nafasnya. Sebab kadang ga ada jeda buat nafas saking padatnya jadwal ngajar, tabligh dan syiar.
Tuh kan, panjang lagi?
Lah, situ kan yang mula-mulain.
Iya, iya. Sudah. Silahkan shut-down komputernya, dan temui dulu tetamunya.
Makasih ya.
Saudara-saudaraku, peserta KuliahOnline, sampe ketemu ya di Sekolah Daarul Qur’an
Internasional, di Kampung ketapang, Kelurahan Ketapang, Kecamatan Cipondoh. Mudah-
mudahan ga pada nyasar.
Iya.
Loh…??? Nyahut lagi…???
He he he. Maka nya, udah buruan shut-down dah yaaaa….

Dari Allah tentang cinta

Cinta adalah bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia. Cinta berada di dalam hati kita namun dapat memancar keluar dengan aneka rupa ekspresinya. Cinta dapat membangun akhlak serta mendikte langkah dan tingkah laku kita.
Sebagai seorang muslim, marilah kita lihat apa yang Allah sampaikan tentang cinta di dalam kitab-Nya, Al Qur’an.

Cinta atas kesenangan dunia

Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga) [Ali Imran, 3:14]
… mereka (orang-orang kafir) mencintai kehidupan di dunia lebih dari akhirat,… [An Nahl, 16:107]

Mengorbankan apa yang dicintai

Kamu sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna), sebelum kamu menafkahkan sehahagian harta yang kamu cintai. [Ali Imran, 3:92]

Cinta orang yang beriman

Dan diantara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah; mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah. [Al Baqarah, 2:165]
… tetapi Allah menjadikan kamu “cinta” kepada keimanan dan menjadikan keimanan itu indah di dalam hatimu serta menjadikan kamu benci kepada kekafiran, kefasikan, dan kedurhakaan. Mereka itulah orang-orang yang mengikuti jalan yang lurus, [Al Hujurat, 49:7]
Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku (Muhammad saw.), niscaya Allah mencintaimu dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [Ali Imran, 3:31]