Tau Kemana Melangkah

Tidak semestinya buat orang yang beriman
tidak tahu kemana dia melangkah.
November tahun 2001, saya bahagia betul istri saya akan melahirkan. Tapi kami tidak ada uang saat itu untuk biaya persalinan. Kira-kira tinggal sepekan istri saya menulis di diarinya satu keluhan yang hanya ia simpan untuk Allah. Kebetulan saya baca itu diari. Isinya kira-kira tentang kegelisahan seorang istri yang suaminya belum juga kunjung memiliki biaya untuk persalinan.
Di usia kandungan 8-9 bulan, saya membawa istri saya berikhtiar mencari pertolongan manusia. Bukan dalam bentuk meminta uang, namun ikhtiar dalam bentuk usaha. Apa saja. Asal halal. Namun masya Allah, hasil ikhtiar harian, penuh hanya untuk makan saja. Ikhtiar-ikhtiar langit sementara, terus dilakukan. Satu yang saya ingat. Agak-agak pantang kami mengucap tidak ada uang. Kalimat ini terasa hanya pantas diucapkan pada Allah saja. Kami sedang belajar saat itu, biar Allah saja yang memilihkan dan menggerakkan hamba-hamba-Nya untuk menolong kami. Pengalaman hidup saya di beberapa waktu terakhir mengajarkan bahwa kalau kami mendatangi manusia, itu hanya membuka aib kami saja bahwa kami sedang dalam keadaan tidak berdaya. Kami ingin sempurna pengaduan, hanya kepada Allah, dan bersandar hanya pada-Nya.
Jika mengingat kondisi tauhid saat-saat itu, nampaknya manis sekali untuk senantiasa diistiqamahi. Allah Maha Mendengar jeritan hati. Kitanya saja yang tak pandai menjaga kesabaran untuk tidak mengeluh dan tidak berhenti beribadah dan berdoa mengetuk pintu langit. Banyak manusia yang tak sabar dengan kondisi “injury time”. Posisi kepepet senantiasa diyakini sebagai posisi yang sedang terjadi dalam hidupnya. Kami belajar, bahwa dengan betul-betul menyandarkan posisi kepada Allah, maka bisa jadi, istilah kepepet itulah garis finishnya.
Akhirnya, terjadilah persalinan itu. Sempurna. Lahir bayi yang sempurna. Bayi yang kelak di usia 7 tahun bermimpi bertemu dengan Rasulullah ketika akan menyatakan diri ingin menjadi penghafal al Qur’an. Ya, Wirda beberapa waktu yang lalu melihat Isamil dan Ishak, santri PPPA yang ditempatkan di Pesantren Tahfidz – Daarul Qur’an Internasional. Ismail dan Ishak ini anak kembar yang masya Allah. Menamatkan pendidikan SD nya di Daarul Huffaadz Lampung dengan mengantongi 23 & 25 juz. Kemudian melanjutkan ke Daarul Qur’an untuk penyempurnaan. Hafalannya dan suaranya, mengagumkan. Dalam waktu itu, Wirda yang 7 tahun yang lalu menjadi bayi yang kita bicarakan ini, pun melihat Atira, putri dari sahabat saya, Hadi Purnomo, Dirut Tirta, anak perusahaan dari Krakatau Steel. Atira ini istimewa juga. Masih kelas 4 SD di Daarul Huffadz, namun suaranya seenak Imam Makkah, dan sudah mengantongi 4 juz, plus jagoan puasa sunnah dan shalat tahajjud. Juga Wirda melihat anak-anak hebat lainnya di Daarul Qur’an. Rupanya ini menjadi motivasi. Satu malam ia menyatakan akan menyempurnakan hafalan Yaasiin dan al Ma’tsurat, plus juz 1 & 30. Ketika ditanya oleh saya, koq ga niat 30 juz saja? Wirda memberi jawabannya dengan senyum. Nah, malamnya Wirda tertidur. Dalam tidurnya ini ia bermimpi ketemu Rasulullah. Wirda lapor di pagi harinya, sambil menunjukkan catatan yang ia tulis dari hasil mimpinya semalam. Katanya, ia ditanya Rasulullah dengan pertanyaan yang hampir sama dengan saya, dan mendorong Wirda untuk hafal 30 juz. Wirda diajak Rasulullah shalat di rumah batunya Rasulullah tanpa Wirda tahu shalat apa itu namanya. Saya berkeyakinan Wirda shalat sunnah lihifdzil Qur’an. Satu shalat yang sering juga diamalkan oleh para penghafal al Qur’an.
Wirda, yang kini tumbuh sebagai anak yang saya banggakan, 7 tahun silam lahir dalam keadaan saya tidak megang uang sama sekali. Istilahnya, seperak juga ga ada.
November ini, tanggal 29 besok (saat tulisan ini ditulis, Web Admin), Wirda berulang tahun.
Ketika Wirda lahir, saya menangis dua kali. Pertama, nangis seneng. Kedua, nangis bingung. Saya rasa, semua ayah akan begini jika menghadapi situasi serupa. Belum lagi saat itu masalah masih sedang banyak-banyaknya.
Beberapa saat setelah Wirda lahir, saya langsung pamit sama istri saya. saya masih mengingat kalimatnya, lebih kurang, “De, kaka pamit dulu ya. Mau nyari duit…”.
“Nyari kemana…?”
“Engga tahu. Pengen jalan saja”.
Tidak lupa, saya pamit sama bayi saya ini. Sekalian minta doa. Kata orang, doanya bayi itu mustajab. Saya cium Wirda dengan penuh perasaan saya, dan saya meminta doa restu Wirda bayi.
Ah, tulisan ini rasanya sudah saya tulis juga di buku Kun Fayakuun.
Persis ketika di pintu Bidan Suli, Bidan dekat rumah kami (waktu itu belum ada Daarul Qur’an), saya beristighfar. Istri saya kan nanya, “Nyari kemana…?”, dalam hati saya, koq bisa-bisanya saya jawab ga tahu mau kemana… Bukankah sebagai seorang mukmin ia tahu seharusnya hendak pergi kemana? Ya kemana lagi, kalau bukan ke Allah.
Saat itu saya sujud. Menangis minta ampun sama Allah. Meminta maaf sudah membelakangi-Nya. Meminta maaf sudah menganggap-Nya tidak ada. Saya berdoa sejenak, minta dibimbing ini kaki, kemana hendak menuju.
Alhamdulillah, motor pinjaman masih terisi bensin. Saya berharap tidak ada satu kejadian pun di jalanan yang menyebabkan saya harus keluar uang. Sungguh, di kantong tidak ada uang sama sekali.
Sampe di sini, saya kadang terdorong untuk mendidik jamaah yang datang dengan kesusahannya untuk pol saja ke Allah. Kadang saya sama sekali tidak membantunya. Bukan apa-apa, modal yang mahal sekali hidup di dalam kesedihan, keprihatinan, kesusahan. Apalagi pas tidak ada pintu yang terbuka. Insya Allah biasanya orang tersebut akan penuh bergerak ke Allah, pasrah sepasrah­pasrahnya. Kondisi beginilah yang kelak membukakan pintu rizki dari langit dan bumi dan kemudia terangkat kehidupan. Namun tidak sedikit yang kemudian hidup cengeng. Asli, pasrah saja. Selanjutnya, terserah Allah saja.
Kembali.
Saya jalan sejalan-jalannya. Hingga kemudian saya menyadari motor saya ada di depan rumah keluarga Kampung Sawah, Jembatan Lima. Saya lihat pintu gerbang hijaunya. Saya berkeyakinan, Allah yang menunjukkan dan menggerakkan saya ke sini. Dan kayaknya mah, saya yakin, di sini mesti ada jawaban untuk biaya bersalinnya istri saya tadi paginya di hari itu.
Namun, sebelum masuk, saya yakinkan diri ini untuk tetap pantang meminta kepada makhluk-Nya. Duh, manis sekali tauhid saat itu. Rasanya, agak sulit untuk ketemu dengan tauhid semacam dulu, kepasrahan semacam dulu, dengan situasi nyaman saat ini.
Saya ajarkan diri saya sebelum masuk, bahwa kalau sampai masuk dan ketemu dengan bibi, paman, dan saudara saya, saya harus pasang muka tidak ada masalah dengan keuangan. Dan harus hanya mengabarkan bayi saya sudah lahir, dengan ekspresi yang penuh dengan kebahagiaan, serta tidak menyiratkan kegalauan tak ada uang. Inilah yang disebut dengan muru’ah, kehormatan, kemuliaan. Barangkali.
Tapi, sebagai manusia, ada letupan di hati, untuk mengutarakan saja. Di dalam hati saya mengatakan, “Ga apa-apa. Kan ikhtiar namanya juga. Anggap saja, bilang itu sebagai bahagian dari ikhtiar”.
Sebagian hati saya yang lain mengatakan, “Percaya ga Allah Maha Menggerakkan Hamba-Nya? Kan sudah bicara sama Allah tentang kebutuhan Wirda. Percaya saja Allah yang akan menggenapkannya. Allah yang akan mencukupkannya. Hasbunallaah wani’mal wakiil, ni’mal maulaa wani’man nashiir. Laa hawla walaa quwwata illaa billaah”.
Lagian, ini kan bukan ikhtiar untuk minjem. Ga ah. Begitu saya bilang.
Saya datang kira-kira jam 10. Saya kabarkan berita gembira ini. Ungkapan-ungkapan kebahagiaan saya dapatkan. Juga nasihat. Tapi, tidak ada satu pun yang nanya udah ada uang belum? He he he. Rupanya, hati masih tetap berharap.
Azan zuhur berkumandang. Seperasaan saya, saat itu saya jalan ke masjid. Berdoa. Hanya Allah yang tahu, dan istri saya, bahwa kami tidak punya uang, dan hari ini saya sedang berjalan menyusuri bumi-Nya Allah yang katanya luas, untuk mencari rizki-Nya. Saat itu, entahlah. Allah yang mengajari. Insya Allah. Yang saya cari rizki-Nya. Maka saya cukupkan dengan mencari-Nya sahaja. Tidak yang lain.
Pulang zuhuran, saya pamit.
Saudara-saudara sekalian, penghuni rumah Kampung Sawah, Jembatan Lima ini salah satu di antaranya adalah bibi saya. Hajjah Hurul ‘In. Beliau kakak dari ibu saya. Satu-satunya. Ada saudara­saudara saya yang lain. Namun beda nenek. Hajjah Hurul ‘In, atau yang akrab saya sapa dengan Bu Noni, orangnya gemar membantu. Tangannya ringan untuk menolong orang. Termasuk seneng memersen (memberi uang). Terus terang, saya berharap sekali dapat sekedar persenan. Saya berdoa kepada Allah dengan bahasa hati, kalaulah Engkau ya Allah tidak memberi saya uang untuk biaya bersalin, dari rumah ini, biarlah sekedar uang kecil untuk jaga-jaga bensin dan makan minumnya saya sepanjang perjalanan ikhtiar. Gitu.
Tapi subhaanallaah… Sampe mau pamitan, ga ada tanda-tanda. Ingin rasanya saya memberi signal. Dengan bahasa tubuh dan air muka. Namun sudah terlanjur niat untuk tidak menunjukkan kebutuhan kecuali di hadapan Allah saja.
Ya sudah, apa boleh buat. Pamitlah saya dengan sempurna. Saya cium tangan orang yang saya hormati ini, orang yang ikut membesarkan saya sejak bayi. Dan lalu saya pamit. Saya balikkan wajah saya dan tubuh saya. Tidak ada juga terdengar angin baik. Ya sudah. Saya melangkah mantab meninggalkan rumah ini. Entahlah kemana setelah ini. Palingan saya ke orang tua. Tapi saya tahu persis, bahwa ayah ibu saya, pun pastinya ga punya uang. Ayah tiri saya, yang menikahi ibu saya ketika saya berusia 5 tahun, adalah pegawai rendahan golongan 2. asli rendahan saat itu. Golongan 3 aja engga. Ga mungkin rasanya ia saya mintakan uang. Apalagi dengan kejadian demi kejadian yang saya alami, yang akibatnya pun ditanggung oleh keluarga. Malu rasanya.
“An…”
Saya hampir ga percaya, tiba-tiba suara yang saya sangat kenali, saya dengar. “An…”.
Ini suara bibi saya. Ia memanggil saya. Ya Allah, begitu saya merintih pada-Nya, jangan sampai perasaan bahagia saya ini menjadi salah di mata-Mu. Tapi panggilan ini saya kenal.
Saudara-saudara Peserta KuliahOnline, saya tahunan hidup bersama bibi saya. Getaran rasa, nyampe di saya. Ketika beliau memanggil saya yang sudah berlalu dari hadapannya, “An…”, terasa kalimat ini memberi sejuta harapan.
Dan alhamdulillah! Benar saja.
“An… Tunggu sebentar…”.
Saya menengok. Bibi saya menahan saya dengan gerakan tangannya, dan beliau masuk ke kamar!
Saya tahu, bibi saya pasti mengambil uang. Namun yang saya ga paham, ternyata bibi saya bukan mengambil uang untuk ongkos saya, melainkan untuk biaya persalinan istri dan bayi saya! subhaanallaah, Allaahu akbar!
Ga lama beliau keluar dari kamarnya. Beliau mengambil tangan kanan saya, dan menyelipkan segulungan uang di tangan saya. Ga tahan, air mata udah mau netes. Saya tahan. Jangan sampai bibi saya tahu bahwa saya sedang nungguin ini uang.
Saudaraku, Peserta KuliahOnline yang sedang belajar tauhid, tentu tauhid saya ini tidak ada apa­apanya. Cerita ini bukanlah ukuran hebatnya tauhid saya. Ini episode kecil saja untuk menggambarkan pelajaran kecil tentang tauhid.
Saat itu, saya tidak berani melihat uang ini. Takut kurang, he he he.
Saya putuskan langsung pulang dulu. Sebab udah jam 14 kalo ga salah saat itu.
Saya urungkan untuk berangkat ke Bekasi. Besok saja dah. Kalo udah tenangan.
Saya langsung menuju Bidan Suli.
Uang dari Bu Noni saya kantongin. Di perjalanaan pulang saya zikir, baca shalawat, dan baca macam­macam. Doa saya kira-kira, ya Allah, saya tahu uang ini pastilah bukan sekedar uang ongkos. Sebab pegangannya lain. Macam uang 20 ribuan atau 50 ribuan. Dan pastinya, bukan hanya selembar tipis. Tapi berlembar-lembar yang digulung. Ya Allah, kalau kurang ini uang, tolong Engkau buat ini uang menjadi cukup sesampenya saya di bidan. Begitu doa saya.
Saya saat itu membayangkan satu ilmu kanuragan, he he he. Di mana saya membayangkan, uang ini bisa berganda dengan sendirinya di kantong saya. Dengan kekuatan shalawat, istighfar dan laa hawla. Saudara-saudaraku, jangan diprotes nih kalimat paragraf ini. Saudara mau kadang protes melulu, he he he. Kritis kali ya? Bukan apa, ntar ada yang protes dah, emangnya shalawat bisa menggandakan uang? Emangnya dengan laa hawla uang bisa berubah jumlahnya? He he he, maaf ya. Ini hanya ungkapan batin saja. Saya berdoa sepenuh hati agar demikian adanya. Kan bisa saja penggenapan itu terjadi dengan bidan Suli memberikan keringanan kepada saya. Gitu.
Sesampainya saya di Bidan Suli, ibu mertua saya sudah ada di sana. Sama nyai dari istri saya. “Suf,” kata mertua saya, “Ayo, temuin dah tuh bidan. Katanya si Nunun udah langsung boleh pulang”.
Deg. Jantung saya mau copot rasanya. Mertua saya ini apa engga tahu ya kalo saya ga punya uang? Bicaranya seakan-akan saya sudah megang uang dari kemaren-kemaren untuk persiapan melahirkan.
Tapi, deg, saya juga takjub. Allah menjaga saya dari rasa malu. Bayangkan, mertua saya diberitahu oleh bidan untuk pulang saja langsung. Rupanya, mertua saya takut kalo sampe nginep, ntar mahal. Mendingan ya langsung pulang saja. Maka saya tidak dapat membayangkan, umpama kejadian, bahwa saya belum megang uang, wuah, malu lah di hadapan mertua. Allah menyelamatkan saya, he he he. Alhamdulillah. Iya lah. Saya kan laki-laki. Di mana harga diri kita, iya ga?
Sejurus kemudian, saya berdoa, dan bersiap-siap nemuin bidan.
“Berapa Bu?”, tanya saya kepada bidan.
“500 ribu Pak Yusuf”.
Saya keluarkan uang yang belum saya lihat dan belum saya hitung ini.
Pas!
Alhamdulillah. Pas!
Persis 500 ribu. Ga pake kembalian, he he he.
Di depan teras bidan saya sujud. Makasih ya Allah. Engkau singkatkan perjalanan ikhtiar saya, dan langsung diberhasilkan. Saya dapat uang karena percaya pada-Mu ya Allah.
Di perjalanan saya berbisik canda kepada Tuhan yang teramat saya banggakan ini, “Ya Allah, besok­besok, lebihkan ya…”.

No comments:

Post a Comment